Bersahabat dan bermusik sejak umur 12 tahun, kini 1/4 melanjutkan perjalanan mereka tanpa Riga. Walau hanya tersisa tiga: Audi Adrianto (gitar), Bismo Triastirtoaji (vokal), dan Levi Stanley (drum) – mereka tetap mengamini fase baru tersebut sebagai pendewasaan.
“Sangat sulit mencampuradukan diskusi karya ketika hal-hal di dunia kami masing-masing jauh lebih dominan menyita waktu dan tenaga. Terbukti proses keluarnya Riga dari band juga disebabkan oleh hal-hal tersebut, and it’s okay,” ungkap Audi.
Tema “untung-buntung” jadi upaya mereka menguraikan segala rungsing di kepala masing-masing. Secara personal, lahirnya album ini menandai evolusi tengah krisis paruh baya menuju umur tiga puluh. Hal-hal tersebut akhirnya mempengaruhi cara mereka memandang dan berkarya. Sebagai audio engineer merangkap manager 1/4, Bayu Perkasa mengaku berencana tidak terlibat untuk penggarapan album ini,
“Gue bilang ke anak-anak, harus ada tangan lain buat album ini. Tercetuslah nama Enrico untuk menjadi co-producer. Mereka temenan dari kecil, jadi ya langsung klop. Bahkan Enrico cuman ubah dikit, tapi ngaruhnya banyak,” ungkap Bayu Perkasa yang akhirnya tetap terlibat sebagai juru mixing untuk album mereka.
Membuka tempat bagi segala kesempatan yang datang, memastikan segalanya terasa dekat, dan bekerja tepat guna jadi mindset yang mereka sepakati untuk album ini. “Kita coba banyak hal baru di album ini. Mulai dari approach penciptaan lagu, artwork, bergabung bersama label baru, sampai melibatkan produser,” ungkap Levi.
Berbeda dari sebelumnya, 1/4 mulai menerapkan proses jamming dan workshop bunyi dalam penggarapannya. Hal tersebut dibantu atas keterlibatan sahabat kecil mereka, Enrico Octaviano (Lomba Sihir, MARTIALS/) sebagai co-producer.
Meski terasa evolusi bunyi pada produksi yang lebih pop-ish, 1/4 tetap menjaga alternative/rock guitar-driven yang menjadi ciri khas mereka. Menjadi tawaran menarik, mereka turut menjumput elemen bunyi yang tidak biasa terjadi pada karya mereka sebelumnya, contohnya seperti elemen musik elektronik. “Intinya kami juga pengen growing, nggak mau kejebak sama apa yang kita tau di waktu sebelumnya,” ungkap Audi.
Enrico sendiri mengaku secara sound dan aransemen, semua lagu 1/4 terasa lebih straight forward dengan “hook yang somewhat jadi instant nyangkut”. 1/4 setuju bahwa kali ini, ada tujuan yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak mereka – menjadi lebih mudah dicerna dan didengarkan.
Dari segi visual, mereka mempercayakan Juan Akbar (fotografer) untuk merealisasikan konsep tattoo yang disepakati sebagai representasi dari “untung-buntung”. Sejak tahun 2020, konsep tattoo, hitam-putih, dan dualitasnya menjadi hal-hal yang mereka bicarakan dan ingin tuju. Alhasil, tubuh Bismo dialihfungsikan menjadi kanvas untuk tattoo yang digarap free-hand oleh Brama Mahasara.
“Banyak banget yang nanya ke kami, kenapa 1/4 nggak jadi besar padahal katanya kami layak. Kami punya daftar panjang asumsinya, tapi sampai sekarang nggak bener-bener tau apa jawabannya. Seiring proses, kami sepakat aja, kalau memang saat itu kami belum siap untuk apapun – bukan urusan untung dan buntung,” ungkap Bismo.
Kesempatan acak? Kerja keras? Campur tangan ilahi? Kecerdasan? Karma masa lalu? Manifesting? Takdir? Apakah itu bagian dari cara kerja keberuntungan dan nasib buruk? Entahlah, menghubungkan hal-hal yang mereka alami dengan keduanya bukan sesuatu yang melulu harus dianggap serius sampai kening mengkerut.
Evolusi yang terjadi membuat mereka sepakat untuk terus mempertimbangkan optimisme tanpa upaya membuang jauh pesimisme sebagai lelaku untuk waras. Hal-hal itu dituangkan menjadi lirik-lirik dalam 5 nomor di EP “Semoga Beruntung” yang dirilis bersama Silver Records, yaitu:
- Nostos & Algia
- Klenik
- Realis
- !?!@^(!*
- Mati Tertawa