Album ini, menandakan berakhirnya jeda delapan tahun yang tanpa sadar dijalani antara album self titled yang dirilis tahun 2016 lalu dan album keenam ini. Nino Kayam mengawali penjelasannya dengan singkat, “Delapan tahun menurut kita kelamaan untuk sebuah grup nggak ngerilis album.” Berangkat dengan pemikiran sederhana tersebut, trio yang juga diisi oleh Asta Andoko dan Rayi Putra ini, mengalokasikan waktu khusus untuk menulis materi yang kemudian menjadi sebelas lagu yang dikandung oleh album Teater Nestapa ini.
Pendekatan yang berbeda, mereka tempuh.
Jika biasanya RAN dikenal dengan lagu bernuansa cinta yang berbunga-bunga, Teater Nestapa punya kisah yang berbeda arah. Seperti namanya, kisah-kisah yang disajikan lewat sebelas lagu di album ini, membawa sisi lain cinta; sesuatu yang ada di depan mata dan sering seliweran, tapi tidak ingin dirasa-rasa sebagai bagian hidup karena cenderung menyakitkan untuk dialami: Nestapa.
Ketika didengarkan sebagai sebuah kesatuan, Teater Nestapa akan memberi paket lengkap akan sisi hidup yang penuh dengan pertanyaan dan strugele harian yang dihadapi manusia “Yang ingin kita angkat adalah sisi humanisnya. Jadi cinta bukan sekedar 1+1 =2,” sambung Nino. la melanjutkan, “Nestapa ada buat mengajarkan manusia untuk belajar merasakan bahagia itu seperti apa. Di sini mungkin lebih kayak apa yang harus kita lakukan, putuskan atau perbuat setelah nestapa itu datang. Tapi, apa reaksi kita?”
Selain itu, dari segi kreatif, ada pendekatan baru yang dilakukan oleh RAN. Jika biasanya mereka menggarap sendiri proses masak di belakang layar, maka di album ini, mereka mengajak sejumlah orang untuk ikut berproses sebagai produser musik. “Idenya, album ini ingin menghadirkan sisi berbeda dari sisi aransemen dan juga eksplorasi sound. Memilih beberapa produser adalah keputusan yang diambil untuk menghadirkan beragam tipe esplorasinya. Walau di beberapa lagu, kami tetap juga menjadi produser musik,” lanjut Asta. Ditimpali oleh Rayi, “Ada beberapa lagu yang menurut kita kalau dikerjakan sendiri, kurang maksimal. Ujungnya bakal jadi kayak RAN yang dulu. Jadi, kami merasa perlu dibantu co- producing untuk bisa terdengar lebih fresh dan relevan.”
Dari kacamata band yang sudah mapan, RAN dilengkapi privilege untuk bisa memilih orang yang cocok diajak bekerjasama mewujudkan ide yang mereka pikirkan di kepala. Proses produksi Teater Nestapa menunjukan ini. “Bersyukur bisa punya keleluasaan model begitu. Karena kami tahu betul visi untuk setiap karya yang kami buat. Tidak ada batasan membuat kami bisa mewujudkan visi tersebut,” kata Asta.
Nino menambahkan, “Kayaknya ini waktu yang tepat juga untuk coba berpartner dengan produser-produser yang kebetulan juga cukup kenal baik dengan RAN. Jadi, kurang lebih, mereka sudah tahulah karakter, DNAnya RAN seperti apa. Jadi, ketika mencoba untuk menyisipkan rasa baru di situ, kita yakin mereka nggak bakal merusak corenya RAN.”
Teater Nestapa juga dibuat dengan melakukan sesi workshop yang lebih santai dan tidak monoton digarap di dalam studio. Tiga orang personil RAN memutuskan untuk keluar dari Jakarta dan menemui lingkungan baru guna berkreasi.