Film debut dari penulis-sutradara-produser Jade Halley Bartlett penuh dengan gaya gotik, seperti yang dijelaskan oleh bintang Jenna Ortega di narasi awal tentang karakternya, “Saya berusia 18 tahun dan sama sekali biasa-biasa saja.” Meskipun namanya (Cairo Sweet) menunjukkan sebaliknya, “Sastra adalah pelipur lara dalam kesendirianku.” Cairo adalah seorang gadis kaya raya berusia 18 tahun yang tinggal sendirian di rumah keluarganya di Tennessee; orang tuanya adalah pengacara yang selalu pergi berkeliling dunia. Yang bisa dia lakukan hanyalah bermalas-malasan, merokok, dan mengobrol dengan sahabatnya, Winnie (Gideon Adlon) yang lucu dan bijak. Dia adalah gambaran yang sangat memikat tentang seorang anak muda yang gelisah, berkeliaran dengan menggoda melalui hutan berkabut dengan kaus kaki setinggi lutut dan rok mini.
Tapi entah dia bosan, mencari persetujuan dari sosok Ayah atau keduanya, Cairo mulai tertarik dan menggoda seseorang yang benar-benar biasa-biasa saja: guru di sekolah menengahnya, Jonathan Miller (Martin Freeman). Kamu pasti sudah sering mendengar hal ini sebelumnya: guru muda yang menjadi fantasi anak sekolah. Tapi Miller paruh baya sudah cukup umur untuk menjadi ayahnya. Dia adalah penulis gagal yang beralih ke pengajaran, yang berulang kali diingatkan oleh istrinya, Beatrice (Dagmara Dominczyk), yang terlihat mabuk sepanjang hari dengan gaun tidur sutranya dan sedikit sombong.
Sebagai seorang penulis muda berbakat, Cairo memulai pengembaraan kreatif dalam imajinasinya ketika Jonathan menugaskan sebuah proyek yang melibatkan mereka berdua dalam sebuah hubungan yang rumit. Saat garis batas menjadi kabur dan kehidupan mereka saling terkait, profesor dan anak didik harus menghadapi sisi tergelap mereka sambil berusaha mempertahankan tujuan masing-masing dan hal-hal yang paling mereka sayangi.
Di tengah semua itu, terkadang ada momen-momen yang mendebarkan, tetapi juga ada yang terlalu hambar dari segi substansi. Para pemain pendukung, termasuk komedian Bashir Sulahuddin sebagai sahabat Jonathan dan pelatih atletik sekolah yang ramah, Borris Fillmore, membuat film ini terasa lebih menghibur. Tidak dapat disangkal “Miller’s Girl” dibuat dengan cukup baik dan Ortega, seperti juga Freeman, memenuhi peran mereka tanpa kesalahan berarti, yang bagi banyak penonton, sudah lebih dari cukup. Karakter yang kompleks serta akhir film yang dapat membuat kita merenung bisa menjadi alasan untuk ke bioskop dan menyaksikan film ini.