Siapa bilang film bertema kitab suci harus selalu tampil khidmat dan aman? “The Carpenter’s Son” datang buat membanting meja ekspektasi itu. Disutradarai Lotfy Nathan, film ini menyelam ke Injil masa kecil Yesus versi apokrif—tepatnya “Infancy Gospel of Thomas“—dan nge-blend-nya jadi racikan folk horror yang aneh, gelap, tapi juga penuh simbolisme. Di pusat kisahnya ada Noah Jupe sebagai remaja misterius dengan kekuatan ganjil, ditemani FKA Twigs sebagai Mary, dan tentu saja Nicolas Cage sebagai Joseph—yang tampil lebih kayak “hippie surfer senior” daripada bapak angkat sang Mesias.
Di awal film aja kita langsung dikasih warning: ini bukan kisah Natal manis yang biasa kamu tonton pas Desember. Adegan pembuka menunjukkan Mary dan Joseph kabur dari Bethlehem di tengah kekejaman Herodes, lengkap dengan visual disturbing yang bikin bulu kuduk naik. Narasi lalu lompat ke masa remaja sang anak, ketika keluarga suci hidup nomaden di tanah asing. Di titik inilah tone horror-nya mulai nendang—meski agak telat panas. Dari ular yang muncul dari mulut korban hingga iblis penuh luka yang diperankan Isla Johnston, Nathan menghadirkan visual-visual mistis yang lebih dekat ke horor kitab suci daripada adaptasi Alkitab versi “ramah keluarga”.
Sayangnya, meski idenya keren dan visualnya sering bikin merinding, “The Carpenter’s Son” nggak selalu berhasil mencengkram. Akting Nicolas Cage—yang lagi hobi banget eksplor film indie eksperimental—jadi salah satu titik paling kontroversial. Ada yang bilang dia miscast, ada yang suka dengan pendekatan chaotic-nya. Suasana film juga kadang goyah, seolah bingung mau sepenuhnya horor, drama eksistensial, atau alegori spiritual. Banyak momen menjanjikan yang gagal “tancap gas sampai habis”.
Akhir kata, “The Carpenter’s Son” adalah film yang berani dan pasti bikin obrolan panjang setelah nonton, tapi belum sepenuhnya memaksimalkan potensinya. Ia tetap menjadi eksperimen liar nan menarik—sebuah “gospelpunk” yang mempertanyakan sakralitas lewat tubuh, simbol, keraguan dan ketakutan. Dan meski hasil akhirnya belum sekuat visinya, satu hal jelas: cuma Nicolas Cage yang bisa bikin film biblis terasa kayak trip folklore yang gelap dan absurd sekaligus.














