Tahun 2019 akan segera berakhir, telah banyak karya musik yang menemani kita sepanjang tahun. Banyak album musik berkualitas yang dirilis pada tahun ini. Mulai dari album debut musisi muda hingga kembalinya musisi setelah lama hiatus.
Tidak kalah dengan musisi luar negeri, musisi dalam negeri juga merilis beberapa album yang patut diberi apresiasi lebih. Banyak musisi Indonesia yang mulai berani memeluk idealisme mereka dalam bermusik. Para pendengar musik lokal pun mulai terbuka dengan berbagai jenis musik yang anti mainstream.
Berikut beberapa album musik terpilih tahun 2019 versi Berisik Radio.
10. Isyana Sarasvati (LEXICON)
Album ketiga milik Isyana Sarasvati amatlah menarik perhatian. Sangat berbeda dari dua album sebelumnya, di album ini Isyana seakan menunjukkan jati diri yang sesungguhnya.
LEXICON menyajikan permadani pop yang sangat dinamis dan tak sekadar membeo pada pasar. Pop yang bisa jadi berada di luar kebiasaan produksi label besar.
Lagu yang paling berbeda dan menarik dalam album ini adalah LEXICON. Pada lagu yang digunakan sebagai judul album ini, Isyana Sarasvati memadukan genre musik klasik dengan genre progresif metal. Luar biasa, tak ada cacat.
9. Vira Talisa (Primavera)
Sosok Vira Talisa sudah mencuri perhatian khalayak sejak mengunggah karya-karya cover-nya di kanal Soundcloud sekitar dua-tiga tahun lalu. Kendati hanya bermodal perkakas akustik, Vira tetap tampil maksimal. Suaranya renyah, meneduhkan, sekaligus membuai telinga. Berkat itu, popularitasnya cepat melambung.
Kiprahnya dalam bermusik semakin memperoleh melambung kala ia merilis album debut berjudul Primavera. Dalam album Primavera, Vira adalah primadona di dunianya sendiri.
Primavera berisikan delapan lagu, yaitu Primavera, Janji Wibawa, Through the Shades of Paradise, He’s Got Me Singin Again, Bunga, Down in Vieux Cannes, For the Time Being dan Matahari. Sebelumnya Janji Wibawa dan Down in Vieux Cannes sudah dirilis sebagai single.
Secara keseluruhan delapan lagu tersebut mengusung genre retro pop. Namun bila diperhatikan dengan rinci, pada beberapa lagu terdapat sentuhan samba dan bossa nova.
8. Jason Ranti (Sekilas Info)
Jeje mengerjakan album ini di tengah dua kondisi genting tidak sehatnya pertarungan politik dalam negeri dan berbicara yang mengandung anak pertama.
Sebelum merilis dua album yang mengubah jalan dikeluarkan, dia pernah bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran Jepang sambil merawat mimpi sebagai gitaris di band blues Stairway To Zinna.
Ada kemarahan dan protes yang menjadi menu utamanya di Lirik-lirik untuk album ini. Yang kemudian justru menarik perhatian adalah renungan-renungan manis, seperti “Iman Cadangan” dan “Tak Selamanya Blues itu Blues”. Mendengar dua lagu itu, malam seperti tak lagi sama lagi.
*mohon maaf gak di kasih link Spotifynya, karena lagu-lagu Jeje belum ada di Spotify hehe..
7. Tashoora (Hamba Jaring Cahaya, Hamba Bela Gelapnya)
Tashoora, grup musik indie asal Yogyakarta akhirnya sukses merilis album pertama mereka bertajuk “Hamba Jaring Cahaya, Hamba Bela Gelapnya”
Sama seperti karya-karya sebelumnya, grup musik ini masih konsisten dalam mengangkat soal isu sosial yang dapat ditemukan disekitar mereka. Pada lagu “Agni”, Tashoora menuangkan keresahannya terhadap kasus pelecehan seksual yang dialami seorang mahasiswi di Yogyakarta. Tidak itu saja, Tashoora juga mengangkat peristiwa penolakan warga atas terpilihnya kepala pemimpin wilayah administratif di suatu dusun yang dipimpin oleh seorang wanita dan kepala camat yang beragama Katolik di kota Bantul lewat trek “Distilasi”.
“Hamba Jaring Cahaya, Hamba Bela Gelapnya” menjadi album studio pertama oleh Tashoora yang sebelumnya sukses merilis single “Hitam” dan “Surya” dan juga mendapatkan predikat Early Noise 201 9 dari Spotify di tahun ini.
6. Pamungkas (Flying Solo)
Pamungkas memberikan warna segar di industri musik pop Indonesia. Musiknya sendiri adalah sebuah asimilasi dari banyak warna musik. Flying Solo adalah album kedua sebagai kelanjutan dari Walk The Talk, debut albumnya yang dirilis tahun lalu.
Flying Solo bisa di gambarkan sebagai bentuk eksplorasi dirinya. Ada upaya penajaman, baik di musik dan lirik yang di tunjukan ke fansnya maupun pendengar musik secara luas.
Album yang di dominasi lagu-lagu bertempo lambat, bisa di artikan lagu-lagu yang ada di album ini sebagai ciri khas dan ruh dari musik Pamungkas sendiri. Dan jika dilihat dari keseluhuran lagu yang ada di album ini bisa di simpulkan bahwa tema percintaan dan kesedihan sangat melekat di album ini.
5. Elephant Kind (The Greatest Ever)
Semenjak perkenalannya lewat mini album perdana di tahun 2014 bertajuk “Scenarios: A Short Film by Elephant Kind”. Secara konsisten Elephant Kind merilis mini album keduanya di tahun 2015 dan album penuh di tahun berikutnya, namun kali ini butuh kurang lebih 3 tahun bagi mereka untuk melepaskan album penuh kedua berjudul “The Greatest Ever”.
Album ini banyak memuat lagu balada bertempo lambat. Namun jebakannya adalah komposisi tersebut berpotensi membuat album ini terdengar monoton, meskipun disiasati dengan dinamika album yang tertata. Buktinya adalah mood kita yang dinaik-turunkan sedari lagu pertama “One” hingga lagu terakhir. Termasuk keputusan mengahiri lagu dengan balada “Lights Up” yang menyayat setelah “Better Days” yang paling joget-able.
Beberapa track dalam album ini mungkin terdengar menonjol karena tiba-tiba menawarkan gaya musik yang berbeda, namun secara garis besar seluruh lagu dalam album ini dibangun di atas dasar yang sama. Hal ini menjadi poin yang menarik, yang pada akhirnya punya pesona mengundang semua orang untuk mendengarkannya secara utuh.
The Greatest Ever bukan merupakan sebuah album yang penuh dengan usaha untuk memamerkan kemampuan secara berlebihan, sebab rasanya kemampuan Elephant Kind disajikan secara tepat melalui lagu-lagu yang sederhana namun terdengar dibuat dengan memperhatikan detail
4. Reality Club (What Do You Really Know?)
Album ini seakan menjadi jawaban atas penantian penggemar terhadap Reality Club yang mengeluarkan album perdananya pada 2017 silam dengan nama “Never Get Better”.
Album What Do You Really Know? merupakan sebuah penggambaran akan sebuah perjalanan. Mereka menginterpretasikan sebuah pertentangan pola pikir dan persepsi tentang bagaimana hidup berjalan. Lalu, untuk kalimat tanya yang ada, mengartikan tentang apa yang sebenarnya kita tahu.
Album ini adalah sebuah pendewasaan dan pengalaman yang mengantar mereka ke dalam posisi saat ini. Juga ada sisi gelap dan terang dari kehidupan yang bermakna kalau hidup bukan hanya ada rasa kehilangan, amarah, frustasi. Tapi juga ada rasa nyaman, ikhlas dan bijaksana.
Jika secara penuh, si album ini akan dimulai dari di mana album Reality Club sebelumnya berakhir. Prologue dimulai sewaktu Epilogue album Never Get Better selesai. Ada nuansa instrumental yang bisa menjadi gambaran tentang apa yang akan terjadi di lagu berikutnya, suara-suara yang sebelumnya tidak pernah dipergunakan, juga turut masuk. Ini merupakan bukti dari pendewasaan bermusik Reality Club.
3. Hindia (Menari Dengan Bayangan)
Bisa dibilang Hindia alias Baskara Putra adalah soloisy yang sangat cepat dikenal. Selain karena dikenal lebih dulu lewat band .Feast, mungkin karya solonya memang bagus sehingga menarik perhatian.
Hindia menggarap debut albumnya dengan ambisius dan terkonsep. Melalui album ini Hindia membuktikan bahwa dia adalah seniman yang ‘kaya’ dan mempuni.
Album Solo Perdana dari Hindia yang bisa dibilang anak dari album milik Kunto Aji yaitu ‘Mantra Mantra’. Album dengan tema yang serupa.
Semua lagu yang terdapat di album ini dibalut dengan musik pop yang agak muram, tetapi memiliki hook yang kuat dan catchy. Album yang menarik, yang mencampurkan musik Hip Hop, Balada, Folk, Funk, Soul, hingga electro yang dibalut dengan lirik yang menjadi kekuatan album ini.
Tidak berlebihan bila menyebut Hindia adalah angin segar untuk musik Indonesia. Terutama karena musiknya bisa menjadi corong untuk generasi muda di usia 20-an yang rentan stres/depresi.
2. Danilla Riyadi (Fingers)
“Fingers” merupakan sebuah karya musik yang mengandung berbagai materi kemanusiaan dan sosial. Mini album ini merupakan proyek pribadi yang terlahir murni dari hasil pemikirannya. Ia bahkan menulis lirik dan menentukan aransemen musik sesuai dengan seleranya sendiri tanpa bantuan Lafa Pratomo yang selama ini membantunya dalam memproduksi karya musik komersilnya.
“Fingers” terdiri dari 5 track yang mewakili setiap jari tangan; “Thumb”, “Index”, “Middle”, “Ring”, “Pinky”. Setiap jari memiliki filosofi dan makna yang dituangkan dalam lirik bahasa Inggris.
Mini album ini bisa juga disebut sebagai konsep album melihat keseluruhan konsep yang dibentuk. Mengakui melakukan produksi musik secara menyeluruh sendirian, setiap track dalam album ini memang terdengar seperti one-man-project. Kita bisa membayangkan setiap demo track yang diciptakan Danilla dengan kemampuan menulis lirik dan memainkan instrumen gitar dengan chord-chord sederhana.
Untuk sebuah project yang Danilla sendiri sebut sebagai project-masa-bodoh, “Fingers” telah membuktikan kemampuan sang musisi dalam menciptakan karya jujurnya yang sederhana namun memiliki materi yang berbobot.
1. The Adams (Agterplaas)
Selepas dua album pertama dirilis, hampir tak ada kebaruan yang ditawarkan The Adams. Susunan setlist tiap pementasan tetap sama: “Halo Beni” menjadi lagu pemantik koor massal dan “Konservatif” selalu diputar di babak penutup.
Perjalanan dalam menghadirkan Agterplaas tak semudah yang dibayangkan. Tiga belas tahun berlalu hingga album ketiga ini hadir di tengah kerinduan dan penantian
Beruntungnya, penantian tersebut terbayar tuntas. The Adams berhasil menyajikan apa yang telah menjadi karakternya. Perbedaan yang mencolok terletak pada penulisan lirik. Agterplaas adalah saksi atas quarter life crisis, hidup berkeluarga, dan pertanyaan: mau apa setelah ini?
Album yang sangat menawan dari The Adams!