Barangkali satu hari dalam hidup kita pernah meyakini bahwa asal muasal filsafat adalah pertanyaan. Jutaan sarjana menulis secara hiperbolis: usia filsafat setua pertanyaan di muka bumi. Celakanya, tulisan seperti itu bikin pembaca terpaksa membayangkan Adam + Hawa terhukum di surga. Mereka yang bertanya dan makan buah pengetahuan: membuat kita tidak ada tanpanya.
Semenjak Socrates dicatat sebagai si mbah filosof di Barat sana—nenek moyang di peradaban yang mereka bangun—sejak itulah kita yang-bukan-Barat dihantui adagium lebih baik bertanya (jika tersesat selamanya pilihan buruk). Katakanlah, setiap tanya menggiring kepada tahu, kendati pun tidak semua tahu mewakili jawaban. Coretan ini hendak maklumi sejenak Socrates yang digadang sebagai tokoh pertama Barat; sang peletak dasar laku filsafat, yakni bertanya.
Namun, seandainya jawaban sama dengan kepastian, maka Socrates tidak perlu mati. Racun yang diminumnya membunuh. Maka, pertanyaan tidak menuntut kepastian. Pasalnya, konon bukan suatu kepastian yang mau dicapainya, melainkan kebenaran. Demi kebenaran, Socrates ambil jalan sunyinya: ia jemput nasibnya diri. Itukah yang mau Barat ajarkan secara didaktis ke kita? Pertanyaan-pertanyaan umum perihal hidup yang dilontarkan Socrates tidak menjadikan tindakannya dipandang bunuh diri. Andaikan saja, Socrates berkorban.
Apakah pengorbanan Socrates itu menuai apa yang diyakininya sebagai kebenaran? 100% tidak. Tidak sepenuhnya. Dan nyatanya, jawaban tidak sama dengan kebenaran. Sialan, jawaban yang ada sekadar bikin kita tahu, seiring pertanyaan enggan tuntas. Pertanyaan apakah itu keadilan, misalnya. Hari ini, penegakan hukum di negara demokratik (sistem yang diagungkan Barat) mana pun dilanda ketimpangan antara ide dan praktik. Jurang besar antara si miskin dan si kaya tidak pernah absen dari statistik perekonomian negara. Jurang yang menciptakan peluang ganjil dari kehendak bebas para nasionalis yang menjunjung demokrasi. Seperti tampak pada kasus belakangan: koruptor mau jadi wakil rakyat. Jelas, aristokrasi merajalela, tiada usai.
Seandainya Socrates hidup kembali, dengan cara pikir sama, bisa-bisa dia dongkol. Tapi, kita tidak butuh Socrates saat ini. Kita bukan Barat. Dia terlalu heroik bagi kita yang belum mampus di zaman sekarang; semua orang merasa berhak punya kebenarannya masing-masing. Kembali ke poin awal: kita hanya dipersilakan untuk bertanya, ya bertannya. Seperti kebenaran macam apa yang kita upayakan, ketika hidup yang kita jalani tidak bisa sekejap bahagia sesuai kehendak kita?
Ternyata filsafat di Barat, bisa jadi berlaku ke kita, menguarkan bahwa zaman ini era matinya segala sesuatu, termasuk kebenaran. Kita, generasi belum mampus kini, dinaungi iklim yang serba pesimistis dan sinis atas apa pun. Gagasan dan spirit Modernisme dianggap terlalu adiluhung dan usang, diganti Pascamodernisme yang banal di segala lini. Berbagai wujud Absolutisme ditolak mentah-mentah, walhasil tidak bekerja lagi klaim-klaim mutlak atas kebenaran. Sebab, narasi-narasi besar sudah dianggap mati. Ideologi jadi bangkrut. Ibarat sudah bertanya, tetapi sesat jua.
Hal demikian yang sebermula muncul pada 1960an akhir sewaktu Foucault nyerocos panjang tentang ramalan ‘kematian manusia’. Pada zaman ini, katanya, lenyap sudah konsep perihal manusia sebagai kategori istimewa dalam pemikiran kita; yang kehilangan tempatnya di arus pengetahuan dan kebudayaan. Ramalan itu menyebut, manusia bahkan tidak menjadi penguasa bagi dirinya. Tipe manusia ini belum dibayangkan Socrates semasa hidupnya.
Kita sadar Pascamodernisme bertolak dari gugatan terhadap status quo. Ia menolak, kendati pada tataran praktik hidup; kita suka menyulapnya sebagai alat untuk menguatkan ulang status quote tersebut. Semisal kita dibuat lebih percaya meme di Instagram berupa fitnah atas seorang politikus dengan dalih ayat-ayat dari kitab suci, ketimbang membaca kitab suci itu sendiri. Kita lebih percaya quotes dan sebelah mata menilai hal itu hikmah kebenaran dari narasi besar yang kita abaikan.
Apalah guna filsafat, kalau begitu? Jika kita sudah bertanya dan pertanyaan demi pertanyaan cuma memusingkan kita dengan pertanyaan lagi. Maaf, dunia ini terlalu sempit untuk usia kita yang terlalu pendek, bukan? Saya cenderung memaknai filsafat sebagai seni agar kita ini tidak begok-begok amat di gelanggang realitas hidup nyata yang senantiasa jamak, berubah-ubah tidak pasti juntrungannya. Tanpa khasanah Barat, dengan filsafat kita cukup mengedepankan satu-satunya yang mungkin tersisa pada kita, yaitu akal.
Sebab, dengan akal, kita bisa menalar hal-hal yang menagih pengorbanan di luar sana. Kita perlu waras memafhumi: di dunia yang kompleks dan nyaris seperti fiksi ini kita adalah tokoh-tokoh rekaan yang kita mainkan. Sekali pun tidak semua akhir cerita happy ending sebagaimana film Hollywood. Dan itulah mengapa Socrates bertanya. Itulah tahu yang boleh jadi sebenarnya. Tidak ada yang pernah final. Dan maut adalah kemungkinan yang pasti.Siapa tahu, kebenaran itu saudara kembar dari kebohongan? Saat menulis coretan ini, saya mendengarkan Dance Gavin Dance bernyanyi. “Say you wanna know the truth, well you can ask me a question. I’ll tell you something that you may wanna hear, but I’ll lie,”. Coretan ini terlalu banyak pertanyaan.
oleh: Hamzah Muhammad | @hmzhmhmmdlghz
Discussion about this post