Ingat waktu kecil kita diajari baca tulis agar mengenal bahwa bentuk yang kita lihat memiliki arti lain yang bisa di suarakan sebagai huruf, kata, kalimat, sampai diktat yang dilepas melalui megaphone orasi ataupun toa toa ceramah?
Itu merupakan tahap awal kita mendapatkan proses memaknai penanda dan petanda (menurut gue). Mengikuti umur yang bertambah, pengalaman mendengar musik yang semakin bervariasi, sumber bacaan baru, lawan diskusi yang menarik, terkadang kita terjebak pada 1 sudut pandang tertentu yang kita anggap (pasti) diwakili oleh penanda yang kita kenal. Contohnya, misalkan kita melihat bibir teman kita yang terlihat berwarna lebih gelap dari warna bibir pada umumnya, secara diam-diam kita menarik kesimpulan bahwa dia adalah seorang perokok berat, padahal belum tentu. Ada kemungkinan lain yang kita tidak ketahui dari penanda dan petanda yang kita kenal. Contoh lainnya, ketika kita masih di bangku Taman Kanak-kanak, kita diajari mengenali siapa itu Singa, seperti apa bentuknya dan apa perannya. Singa yang saat itu kita kenal, hanya seekor hewan buas yang memiliki suara (auman) yang bisa membuatnya memimpin hutan, titik.
Dengan adanya aspek-aspek lain yang kita temui dalam hidup dan mungkin trauma yang tersimpan dalam sejarah pribadi, bentuk Singa tadi telah berubah menjadi petanda yang lain. Misal, menjadi Negara Inggris yang berhasil menjajah berbagai negara dan menjadikan mereka dibawah kepemimpinan yang berbahasakan Inggris. Atau, hanya berubah menjadi bentuk kartun saja, seperti yang dibuat Disneyl Studio. Lagi-lagi, perubahan pemahaman terhadap penanda dan petanda dipengaruhi pengalaman pribadi dan (sebagian) hal yang pribadi itu simpan dan tanam didalam dirinya. Mirip trauma.
Hal ini bukan anomali, tapi bukan juga fenomena yang terjadi secara massif. Dan bisa saja, ini hanya ketakutan gue. Tapi yang gue lihat, hal itu terjadi sampai di saat dimana konsumsi media mulai semakin terasa mendiktat apa yang harus di ingat, dan apa yang harus dilupakan. Bagaimana seseorang figure harus diabadikan, atau diruntuhkan. Bagaimana suatu penanda, bisa digunakan sebagai perwakilan jadi kelompok yang bahkan tidak terlibat dengan narasi besar ataupun kecil yang diemban oleh mayat oknum yang terbunuh.
Well, agar lebih renyah kita bicara tentang Tanda, singkatnya akan gue jelasin apa itu Tanda, penanda dan petanda. “Sebuah Tanda tidak tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.” Ini penjelasan colongan dari jurnal yang bahas secara singkat apa itu semiotik-Tanda-dan seterusnya dari sudut pandang Louis Hjelmslev. Referensi lainnya bisa di lihat di tulisannya Ferdinand de Saussure, atau Rouland Barthes. Beres dengah Tanda? Sekarang kita liat film-film yang (mungkin) terbilang baru, yang berkaitan dengan kultur musik berisik pada umumnya dan mau gue bahas penanda dan petanda di dalamnya. Ada beberapa film yang akan gue comot-comot sedikit untuk jadi contoh bahasan. Yuk kita mulai,
1. Mr. Pickles
Mulai dari Mr.Pickles, sebuah series cartoon dengan gaya gambar mirip artwork Thrash Punk atau Thrash Metal era 90-an. Series ini dirilis pada tahun 2013 dengan menjadikan anjing satanis sadis sebagai pemeran utamanya. Yap, pemeran utamanya itu seekor anjing satanis. Tertarik buat nonton? Oke, gue kasih sedikit cerita singkatnya. Jadi Mr.Pickles ini adalah anjing ‘baik’ peliharaan keluarga Goodman yang punya kehidupan rahasia yaitu menikmati musik yang luar biasa berisiknya dan sering melakukan tindak kriminal yang sadis. Dua penanda yang mau gue garis bawahi adalah musik berisik dan tindak kriminal. Cukup tentang Mr.Pickles, kita lanjut ke Metalocalypse.
2. Metalocalypse
Series Metalocalypse ini berisikan 5 karakter metalhead yang super duper berbahaya melawan dunia. Dengan aksi panggung yang gila, komedi yang gelap, movement kartun yang kasar, dan tentunya darah, series yang cuma dirilis sebanyak 5 season ini menarik buat lu simak penanda dan petandanya. Sama dengan Mr.Pickles, musik berisik dan tindak kriminal menjadi dua hal kental yang bisa lu saksisan dalam tayangan ini.
3. Deathgasm
Next, Deathgasm! Lo pasti tau film ini, salah satu potongan adegannya pernah masuk 9gag, haha. Well, film ini bercerita tentang seorang pemuda (gitaris kamar) yang suka banget dengerin musik deathmetal. Sayangnya dia mengalami banyak masalah dalam menjalani masa remajanya, di stigmatisasi. Yap, karena musik berisik yang dia suka dan dia anggap sebagai penyelamat kebosanan dari masa remaja yang stagnan di cap memiliki keterkaitan dengan tindak kriminal dan satanisme.
4. American Satan
Dan yang terakhir, American Satan (Booooooooo). Ya ya ya, gue tau, gak semua dari lu suka film ini ataupun suka dengan si Andy Black Veil Bride, tapi film ini masih bisa lu tonton kok. Menariknya apa dari film ini? Gue nemuin alur cerita yang cukup bisa dinikmati, tentang proses satu band dari 0 sampai jadi super star. Inget, ini cuma film ya, bukan dokumenter, tapi yang menariknya adalah, banyak adegan tentang birokrasi belakang panggung pertunjukan yang unsurnya mereka sajikan dengan bumbu ‘satanisme’ dan ‘Drugs’. Seolah lu bisa nemuin perjalan hidup anak band rasa “Sex, Drugs and Rock&Roll”. Pernah dengar semboyan itu? Dan lagi, yang gue garis bawahi adalah musik berisik dan tindak kriminal. Segitu ajah sih comotan film yang mau gue tarik lagi ke bahasan penanda dan petanda di awal artikel ini.
Jadi, yang gue lihat, stigmatisasi tentang musik berisik dan hal-hal negatif itu beda-beda tipis lah di tiap negara. Tapi banyak miripnya. Nah stigmatisasi ini yang menyulitkan anak muda untuk memilah dan memilih, gimana mau pilah-pilih, wong kenyataannya gak dipaparin semua. Mirip kejadian di awal artikel yang gue ketik ini “Mengikuti umur yang bertambah, pengalaman yang semakin bervariasi, sumber bacaan baru, lawan diskusi yang menarik, terkadang kita terjebak dalam 1 sudut pandang tertentu yang kita anggap diwakili oleh penanda yang kita kenal.”.
Padahal, hubungan antara musik berisik dan tindak kriminal gak sebegitu monotonnya kan? Way more complex, dude! Dasar sejarahnya ada tuh. Gue agak lupa, antara punk dulu atau metal dulu yang muncul sebagai subkultur dan musik yang anti politisi (kotor). Kritis, mengkritisi, gak nyembah menghadap setan sih. Soalnya itu Cuma gimmick (Kata salah seorang musisi lawas disana). Agak sedikit lompat.
Gue jadi inget movement yang (Alm.) Ginan Jeruji galakkan beberapa tahun yang lalu, “Indonesia Tanpa Stigma”. Gue memaknainya gerakan ini sebagai gerakan yang membuka kemungkinan bahwa “penyintas punya kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik” yang juga bisa berarti, mereka yang sedang di Stigmatisasi belum tentu salah dan kamu yang tidak di stigmatisati belum tentu juga benar. Tapi sayangnya, kalau penanda sudah dipolitisi, pandangan tanpa stigma tadi jadi sulit dijalankan. Semua orang tidak percaya orang lain karena stigma, karena toleransi hanya berlaku untuk dirinya yang (dia anggap) membutuhkan. Kalau stigmatisasi gak berhenti. Toleransi cuma akan ada di toa-toa usang dan megaphone yang suaranya kusut, gak akan sampai dilakukan semua orang. Akhirnya? Terjadilah perang ideology, perang isu, perang berita, perang konten, perang karya, yang seremnya adalah perang sesama manusia?
Akan sampai sanakah kita? Gue sih gak mau, tapikah gak bisa kalo gue doang. Harus kita semua. Cheers!
Discussion about this post