Jangan menilai buku dari sampulnya. Inilah impresi pertama yang saya temui langsung dari penulis buku ini sendiri, Yuka D. Narendra. Memang Mas Yuka memaparkannya dengan kalimat yang berbeda, namun kurang lebih itulah inti dari kalimat pembuka di acara diskusi buku yang bertajuk “Heavy Metal Parents: Identitas Kultural Metalhead Indonesia 1980-an”.
Alasan kenapa sampai kalimat sanggahan itu diucapkan oleh Mas Yuka adalah karena banyak dari rekannya yang menyangka bahwa buku ini berisikan pedoman mendidik anak yang baik dan benar agar tumbuh menjadi seorang Heavy Metal-Head yang baik dan benar. Hahaha, gelak tawa pecah di dalam Kios Ojo Keos milik pentolan ERK yang turut hadir dalam acara diskusi malam itu. Acara yang diadakan tanpa biaya registrasi pada malam itu berjalan sedikit terlambat dikarenakan moderator yang sekaligus Manager dari band kenamaan, Seringai terhalang macetnya ibu kota. Untunglah Mas Wendi berhasil hadir di saat yang tepat untuk memimpin jalannya diskusi terkait Heavy Metal, Scene, dan segala hal yang memiliki kaitan sejarah dengan subkultur yang kini semakin mewabah di Indonesia.
Betul memang, buku ini bukannya ditulis untuk para orang tua yang ingin anak-anaknya berhasil menjadi individu penyuka music berisik yang baik dan benar, melainkan tentang sejarah terbentuknnya identitas komunitas itu sendiri, khususnya di Jakarta. Mas Yuka hendak membawa pembaca ke era dimana pemerintah melakukan tindak represif terhadap penikmat, maupun musik yang dipandang memiliki keterkaitan dengan pemuja setan, padahal enggak. Bagi rekan-rekan penikmat musik underground yang tumbuh di era 90-an akhir, mungkin Rossi dan De Javu menjadi tempat yang dikultuskan sebagai arena tumbuhnya pergerakan subkultur ini. Sayangnya tidak. Di era 80-an, terdapat 1 tempat yang menjadi arena tumbuhnya bibit subkultur Metal di Jakarta bernama Pid Pub. Pid Pub, Terdengar asing? Yap, mungkin kita terlahir di era yang sama, namun pada malam itu, Mas Cholil ERK, Mas Adjie Down For Life mengingat tempat itu bersama Mas Yuka dan Wendi. Hahaha, mereka menertawai umur mereka bersama-sama.
Mas Yuka dan Mbak Gita menyampaikan alasan mengapa era 80-an menjadi penting adalah karena era tersebut adalah masa dimana Orde Baru mengekang persebaran informasi, salah satunya artefak kebudayaan semacam kaset dan CD dari band luar negeri. Akan tetapi di era itu, Aquarius menjadi produsen kaset bootleg terbaik yang menjadi langganan rekan-rekan metalhead yang tumbuh di rezim Soeharto tersebut.
Mungkin bagi metalhead yang lahir di era 90 sampai 2000-an awal, hal ini tidak terlalu penting, namun jika mengingat slogan yang sering teriakan di skena ini, “back to roots”, rasanya fakta sejarah dan keadaan politik di era itu perlu menjadi perhatian. Mengutip dari Mas Yuka, musik metal terlahir dari perlawanan dan tumbuh dengan memperjuangkan perlawanan, dan itu yang ingin diingatkan kedua penulis buku ini. Tentang semangat perjuangan yang ingin ditularkan kepada penikmat musik berisik yang tumbuh di era 2000-an. Agar apa? Agar skena ini tidak terjebak dalam keadaan dimana music Metal hanyalah menjadi produk yang dikonsumsi tanpa memperhatikan hal-hal ideologis di dalamnya.
Diskusi yang bergulir kurang lebih selama 3 jam di bilangan Lebak Bulus itu kurang lebih diisi dengan diskusi seputar proses penulisan dan hal-hal politis dengan balutan komedi dari opini-opini menarik yang dilontarkan Mas Adjie DFL. Dan sisanya, dipenuhi gelak tawa serta ucapan selamat dari rekan-rekan yang hadir pada malam diskusi tersebut.
Perihal isi yang terdapat di dalam bukunya? Rasanya, lebih baik kita membaca dan menikmatinya sembari memutar album Heavy Metal kesukaan kita, lalu nanti diskusi dan membahas ini-itu yang terdapat didalamnya karena tentu, akan menjadi perbincangan yang menarik untuk dilakukan, dengan atau tidak dengan sesame Metalhead.
Discussion about this post