Data terakhir dari WHO menyebutkan bahwa setiap 40 detik ada satu orang yang meninggal karena bunuh diri di seluruh dunia. Jumlah tersebut tentu saja tidak bisa dibilang sedikit. Dari era nya Kurt Cobain, Chester Bennington, sampai yang terakhir bintang KPop, Goo Hara, nyatanya bunuh diri masih menjadi jalan pintas yang ditempuh sebagian orang untuk terbebas dari masalah. Kalau dulu kasus bunuh diri dilatari permasalahan hidup dan kepopuleran yang sulit dibendung, di era milenial justru banyak kasus bunuh diri yang terjadi akibat bully, apalagi yang terjadi di media sosial.
Media sosial ini memang punya dua sisi yang sama besarnya. Bila dimanfaatkan dengan baik akan menghasilkan suatu dampak yang besar. Mulai dari movement hingga penggalangan dana. Beberapa yang berhasil misalnya movement yang dilakukan oleh Kunto Aji cs yang menggaungkan gerakan anti pelecehan seksual di konser dengan membuat logo merah SOS yang bisa digunakan siapapun saat berada di konser. Sedangkan program charity banyak dilakukan melalui platform kitabisa. Terakhir yang saya ingat adalah program charity nya Najwa Shihab yang mengumpulkan dana pendidikan buat anak yang putus sekolah karena salah tangkap. Target bantuan senilai 150 juta bisa terkumpul dalam waktu kurang dari 24 jam.
Sebaliknya, bila digunakan secara negatif, media sosial bisa menjadi media “pembunuh” orang-orang di dalamnya. Lihat saja berapa banyak artis yang melaporkan warganet yang dengan sengaja menulis komentar negatif di unggahan media sosial mereka. Menurut saya, pihak yang melaporkan ini adalah contoh orang kuat yang tahu harus seperti apa bereaksi terhadap respon negatif orang lain. Tapi coba lihat yang terjadi sama Sulli dan Goo Hara. Konon, salah satu penyebab mereka bunuh diri adalah karena nggak tahan sama bully yang mereka dapat dari media sosial. Setiap gerak gerik mereka diawasi dan selalu dianggap salah.
Kita bisa jadi penyebab orang bunuh diri kalau kita nggak bisa mengontrol gerak jempol kita di media sosial. Satu kalimat yang kita lontarkan ke orang lain mungkin akan kita lupa dan nggak berarti apa-apa buat kita, tapi kalimat tersebut bisa jadi justru sangat mengganggu mental seseorang.
Ya, 90 persen kasus bunuh diri ini terjadi akibat depresi yang tidak tertangani dengan baik. Artinya, bunuh diri itu bukan suatu tindakan yang dilakukan secara tiba-tiba. Pelakunya pasti sudah merasakan tekanan yang berat jauh sebelum dia memutuskan untuk bunuh diri. Lalu di mana kita saat orang-orang tersebut depresi sampai nggak punya pilihan lain selain bunuh diri? Kita sesungguhnya memang punya andil besar atas pencegahan bunuh diri. Orang yang mengalami depresi biasanya akan menunjukkan sejumlah gejala seperti malas bergaul, menghindar kalau diajak nongkrong, mudah tersinggung, dan nggak tertarik lagi sama hobi yang dulu dia sukai. Beberapa orang ada juga yang sering meluapkannya dengan cara pasang status sedih atau membagikan playlist galau nya di media sosial.
Berdasarkan data Riskesdas 2018 yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, ada enam persen masyarakat Indonesia berusia 15-39 tahun yang mengalami depresi. Sayangnya, cuma sembilan persen yang ditangani dengan baik. Sebab, banyak orang yang tidak menyadari kalau dirinya sedang mengalami depresi. Sementara sebagian lainnya merasa tabu atau malu untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater. Mereka takut disebut gila. Iya, betapa anggapan orang lain masih menjadi sesuatu yang penting bagi sebagian besar masyarakat. Hal seperti ini yang membuat kasus depresi masih akan terjadi dan semakin berat.
Sebagai pengguna aktif media sosial, kita sebaiknya lebih aware terhadap tanda-tanda depresi yang ditunjukkan seseorang di media sosial. Kalau ada teman yang posting status galau, jangan dibilang baper. Minimal tanyakan kabar mereka atau ajaklah mereka ngobrol. Jangan biarkan mereka merasa kesepian dan diabaikan. Kesepian dan perasaan diabaikan itu sering banget dirasakan sama orang yang depresi. Jadi, sesimpel menanyakan mereka kabar bisa jadi sesuatu yang berharga banget buat mereka.
Mulai sekarang kita nggak boleh lagi jadi orang yang cuek sama apa yang terjadi dengan orang terdekat kita. Dan nggak perlu takut dibilang kepo. Kata kepo dan baper itu seringkali justru menjerumuskan kita jadi orang yang cuek, nggak peduli, dan apatis sama apa yang terjadi di sekeliling kita. Kadang kita lupa bahwa interaksi secara langsung itu lebih penting dari sekadar update status. Mendengar kabar sahabat dan kerabat juga sama pentingnya dengan membagikan kabar kita pada dunia.
Lalu, gimana kalau kita yang merasa kita sedang depresi? Coba dirasakan lagi apakah kita benar-benar sedang depresi atau ‘hanya’ stres. Ya, depresi itu berbeda dengan stres. Stres merupakan sebuah perasaan tertekan atas sesuatu yang mengganggu kenyamanan kita. Sementara depresi adalah kondisi yang muncul akibat stres yang tidak mampu kita tangani.
Ada banyak cara yang bisa kita lakukan saat merasa depresi. Yang pertama bisa kita lakukan adalah berusaha untuk terbuka. Berceritalah dengan siapapun orang yang paling kita percaya. Kalau di dunia nyata tidak ada orang yang kamu percaya, kamu bisa memanfaatkan platform layanan kesehatan yang menyediakan jasa konsultasi dengan psikolog atau psikiater secara gratis. Menyadari bahwa sesuatu terjadi pada kesehatan mental mu adalah sebuah langkah awal yang baik untuk menjauhkan mu dari dampak depresi yang lebih serius.